Kamis, 16 Februari 2012

Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)


Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana                 
·         Segehan cacahan warna lima.
·         Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
·         Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
·         Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
·         Pejati.
·         Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
·         Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
·         Bakul.
·         Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih


Waktu   Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). 
Tempat  Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana  Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara                             
·         Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
·         Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
·         Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan.

Mantram-mantramnya
               
1. Mantram prayascita. 
Artinya :
Om Hrim, Srim, Nam, Sam, Wam, Yam, sarwa rogra satru winasaya rah um phat. Om Hrim, Srim, Am, Tarn, Sam, Bam, Im, Sarwa danda mala papa klesa winasaya rah, um, phat. Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka wenasaya rah um phat. Om siddhi guru srom sarwasat, Om sarwa wighna winasaya sarwa klesa wenasaya, sarwa rogha wena saya, sarwa satru wenasaya sarwa dusta wenasaya sarwa papa wenasaya astu ya namah swaha.
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana, dan lain-lain menjadi sirna.


2. Mantram bhyakala.
Artinya:
Om indah ta kita dang kala-kali, peniki pabhyakalane si anu (sebut namanya) katur ring sang kala-kali sadaya, sira reko pakulun angeluaraken sakvvehing kala, kacarik, kala patti, kala kaparan, kala krogan, kala mujar, kala kakepengan, kala sepetan, kala kepepek, kala cangkringan, kala durbala durbali, kala Brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak sariranipun. Si anu (sebut lagi namanya) sama pada keluarana denira Bethara Ciwa wruh ya sira ring Hyang Ganing awak sarirania, kajenengana denira Hyang Tri Purusangkara, kasaksenan denira Hyang Trayodasa saksi, lahya maruat Sang kala-kali mundura dulurane rahayu den nutugang tuwuhipun si anu (sebut lagi namanya) tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhiputra listu ayu.
Wahai Sang Kala-kali inilah upacara bhyakalanya si anu yang disuguhkan kepada Sang Kala-kali. Kiranya dapatlah oleh-Mu dikeluarkan segala perintang yang ada pada diri si anu ini yang juga diperintahkan oieh Hyang Widhi Siwa dan leluhurnya, sehingga dengan demikian ia dapat menyucikan dirinya untuk selanjutnya disemayami oleh Hyang Tri Purusa (Parama Siwa, dan Siwatma) serta disaksikan oleh Hyang Trayodasa saksi (ke tiga belas saksi).


3. Mantram mejaya-jaya.
Artinya:
Om dirghayur astu ta astu, Om Awighnam astu tat astu, Om Cubham astu tat astu, Om Sukham bhawantu, Om Pumam bhawantu, Om sreyam bhawantu. Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Om Hyang Widhi Wasa semoga dianugerahi kesejahteraan, kebahagiaan dan panjang umur.

Bagi masyarakat Hindu soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat didalam sastra dan kitab hukum Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang mengatur tata laksana perkawinan pembinaan hukum agama Hindu di bidang perkawinan.
Berdasarkan Kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang “putra”. Kata putra berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya “ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka”.
Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang demikian pula oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat dilakukan oleh keturunannya seperti dijelaskan dalam ceritera/Itihasa.
Jadi tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Yaitu anak hormat kepada orang tua. Cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :
Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.
Lebih jauh dijelaskan oleh Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu.
Dalam upacara Manusia Yadnya, wiwaha Samskara (Upacara Perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur, maka itu disamakan dengan Dharma.
Wiwaha Samskara diabadikan berdasarkan Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakanlah wanita dan pria oleh Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri.
Dalam berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu :
1. Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar