Hakekatnya
adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada
masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri
sebagai suami-istri.
Sarana
· Segehan cacahan warna lima.
· Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
· Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
· Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
· Pejati.
· Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
· Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
· Bakul.
· Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa).
Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
· Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
· Kemudian
mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga
kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki
dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh
mempelai Iaki-laki.
· Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan.
Mantram-mantramnya
1. Mantram prayascita.
|
Artinya :
|
Om
Hrim, Srim, Nam, Sam, Wam, Yam, sarwa rogra satru winasaya rah um
phat. Om Hrim, Srim, Am, Tarn, Sam, Bam, Im, Sarwa danda mala papa
klesa winasaya rah, um, phat. Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa
petaka wenasaya rah um phat. Om siddhi guru srom sarwasat, Om sarwa
wighna winasaya sarwa klesa wenasaya, sarwa rogha wena saya, sarwa
satru wenasaya sarwa dusta wenasaya sarwa papa wenasaya astu ya namah
swaha.
|
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana, dan lain-lain menjadi sirna.
|
| |
2. Mantram bhyakala.
|
Artinya:
|
Om
indah ta kita dang kala-kali, peniki pabhyakalane si anu (sebut
namanya) katur ring sang kala-kali sadaya, sira reko pakulun
angeluaraken sakvvehing kala, kacarik, kala patti, kala kaparan, kala
krogan, kala mujar, kala kakepengan, kala sepetan, kala kepepek, kala
cangkringan, kala durbala durbali, kala Brahma makadi sakwehing kala
heneng ring awak sariranipun. Si anu (sebut lagi namanya) sama pada
keluarana denira Bethara Ciwa wruh ya sira ring Hyang Ganing awak
sarirania, kajenengana denira Hyang Tri Purusangkara, kasaksenan
denira Hyang Trayodasa saksi, lahya maruat Sang kala-kali mundura
dulurane rahayu den nutugang tuwuhipun si anu (sebut lagi namanya)
tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhiputra listu ayu.
|
Wahai
Sang Kala-kali inilah upacara bhyakalanya si anu yang disuguhkan
kepada Sang Kala-kali. Kiranya dapatlah oleh-Mu dikeluarkan segala
perintang yang ada pada diri si anu ini yang juga diperintahkan oieh
Hyang Widhi Siwa dan leluhurnya, sehingga dengan demikian ia dapat
menyucikan dirinya untuk selanjutnya disemayami oleh Hyang Tri Purusa
(Parama Siwa, dan Siwatma) serta disaksikan oleh Hyang Trayodasa saksi
(ke tiga belas saksi).
|
| |
3. Mantram mejaya-jaya.
|
Artinya:
|
Om
dirghayur astu ta astu, Om Awighnam astu tat astu, Om Cubham astu tat
astu, Om Sukham bhawantu, Om Pumam bhawantu, Om sreyam bhawantu.
Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
|
Om Hyang Widhi Wasa semoga dianugerahi kesejahteraan, kebahagiaan dan panjang umur.
|
Bagi masyarakat Hindu soal perkawinan
mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka.
Istilah perkawinan sebagaimana terdapat didalam sastra dan kitab hukum
Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang
mengatur tata laksana perkawinan pembinaan hukum agama Hindu di bidang
perkawinan.
Berdasarkan Kitab Manusmrti, perkawinan
bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban
seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang
tua dengan jalan melahirkan seorang “putra”. Kata putra berasal dari
bahasa Sanskerta yang artinya “ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah
orang tuanya dari neraka”.
Wiwaha dalam agama Hindu dipandang
sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan
bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam
artian harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu
kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang
demikian pula oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki
keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat dilakukan oleh
keturunannya seperti dijelaskan dalam ceritera/Itihasa.
Jadi tujuan utama dari wiwaha adalah
untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Yaitu anak
hormat kepada orang tua. Cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti
kepada Tuhan. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu
menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan
sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya.
Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :
Orang yang mampu membuat seratus sumur
masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat
satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya
dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus
ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah
keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak
yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.
Lebih jauh dijelaskan oleh Manawa
Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara yang menempatkan
kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang
erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang
ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu.
Dalam upacara Manusia Yadnya, wiwaha
Samskara (Upacara Perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara
Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya.
Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur,
maka itu disamakan dengan Dharma.
Wiwaha Samskara diabadikan berdasarkan
Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri
melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra
menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakanlah
wanita dan pria oleh Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh
Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri.
Dalam berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu :
1. Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya
1. Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar